Radio Rimba Raya adalah Radio Republik Indonesia Darurat yang disiarkan dari Dataran tinggi Gayo, atau tepatnya
di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang
menjadi wilayah bagian Kabupaten Bener Meriah, oleh Tentara
Republik IndonesiaDivisi X/Aceh pimpinan Kolonel Husin Yusuf.
A. Masa penyiaran
Radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari Indonesia.
B. Penyiar
Penyiar-penyiarnya adalah
1. W. Schutz,
Raden Sarsono,
2. Abdullah Arief,
3. M. Syah Asyik,
4. Syarifuddin,
5. Ramli Melayu,
6. Syarifuddin Taib,
7. Syamsudin Rauf,
dan
8. Agus Sam.
C.
Pesan
kemerdekaan
Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta
yang merupakan
ibu kota Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia telah dikuasai Belanda. Radio ini
memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia
Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
D. Membantah Provokasi Belanda
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap
kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah
menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia
tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah
Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa
Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. Akhirnya,
akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta
mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio
Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.
E.
Sejarah
1. Kontroversi
pengadaan peralatan siar
Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara
Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi
perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda
I bulan Juli 1947. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa ke kota juang Bireuen.
Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh,
John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu
berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar
radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi
bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan.
Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi
alat pemancar dengan enak melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai Yu, Aceh
Timur.
Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli
peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah
menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan
di Pangkalan
Brandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Daud Beureueh. Nip Xarim
membeli perakatan radio itu bersama Dr. Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I
1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan
UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.
Keterangan serupa ditulis dalam buku “Peranan Radio di
Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara,” yang ditulis Drs. Muhammad TWH. Anggota
Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/Ajudan Komandan Divisi X
Kolonel M. Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X membenarkan
hal ini. Tapi Ali Hasyim, dan TA Talsya menyebut John Lie-lah yang membeli
peralatan tersebut.
Ikmal Gopi sendiri setelah meneliti riawayat John Lie,
seorang keturunan Tionghoa-Manado, menjabat Kepala Syahbandar Cilacap,
menyebutkan John Lie baru berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada
1947 saat meletus Agresi Militer I. Baru pada bulan September 1947, John Lie
singgah ke Pelabuhan Bilik Medan dan kemudian Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.
2. Tiba di Aceh
Terlepas dari siapa yang membeli peralatan pesawat
tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah
beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas,
pemancar tersebut dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya
pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di
kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai
cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio
siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya,
pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada
saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam
situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud
Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka
disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman
karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.
Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa
ke kampung Burni Bies, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di
kawasan itu tidak baik, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman
perangkat radio itu, maka oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa
ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk Kecamatan Timang
Gajah, Kabupaten Aceh Tengah.
Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember
1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni
Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali
rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran
Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat
tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat
lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo,
lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya
pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik.
Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke
Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi
dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup.
Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan.
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi,
hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan
kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di
Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya
bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar
rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.
3. Mulai mengudara
Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio
Rimba Raya, akhirnya Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang
memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio
Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang
kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan
Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan,
Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio
ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting
bagi kegiatan angkatan bersenjata. Selain bahasa
Aceh dan bahasa
Indonesia, siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh
Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, dan Arab.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga
menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian
rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya
sarana diplomasi politik Indonesia.
4. Kontak dengan
India
Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan
perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India. Berita-berita
itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi,
juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang
dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal
20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang
mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang
menghadiri konferensi tersebut.
5. Akhir penyiaran
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 diJakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
F. Dimuseumkan
Perangkat tua radio Rimba Raya itu teronggok di salah
satu sudut ruang Museum Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera
sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan
oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan
lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal,
Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio
yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan
Belanda pada 19 Desember 1948.
G. Monumen peringatan
Monumen Radio Rimba Raya dibangun untuk mengenang sejarah
Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari
agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil
Arifin pada 27
Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di Kampung Rime
Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain
menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang menarik
untuk dikunjungi.
H. Pengoperasionalan kembali
Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah
berupaya mengoperasionalkan kembali stasiun radio ini dengan membeli seperangkat
alat penyiaran radio yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Kabupaten (APBK) Bener Meriah sebesar Rp. 287.000.000,00
Materi penyiaran yang direncanakan adalah informasi dan
hiburan bagi masyarakat Bener Meriah dan sekitarnya. Bagaimanapun pelaksanaan
penyiaran kembali radio ini mengalami beberapa hambatan, misalnya krisis listrik yang belum juga usai.
I. Pemfilman
Peristiwa heroik dan peran Radio Rimba Raya telah difilmkan
dengan dibuatnya film dokumenter yang dibuat oleh Kanca Mara Production. Film
ini berdurasi 90 menit, mengambil gambar dengan setting masa lalu di Kota
Jakarta, Yogyakarta, Padang, Banda Aceh (Koetaradja), Kota Bireuen, dan
Takengon.
Persiapan pembuatan
film dokumenter Radio Rimba Raya memakan waktu dua tahun lebih yang didahului
dengan riset dan mulai pengambilan gambar sejak tanggal 1 Agustus 2008. Film
sejarah itu dibuat dengan format layar lebar dengan sistem suara stereo
digital.
0 komentar:
Posting Komentar